Generasi Muda dan Pertanian Indonesia
Pada beberapa bulan terakhir di tahun
2015, pemerintah disibukkan dengan repotnya mengatur kebijakan terkait sektor
baru pekerjaan terutama di Jakarta: Ojek. Ekspos media massa selanjutnya
memberikan gambaran betapa jenis pekerjaan ini menjanjikan pendapatan yang
sungguh fantastis.
Pendapatan seorang driver Gojek dapat
mencapai minimal 6 juta per bulan untuk pekerjaan hampir full time (jam
6 pagi sampai jam 4 petang). Dibandingkan dengan UMR Jakarta sebesar Rp
2.100.000, tidak mengherankan lapangan pekerjaan ini segera menjadi salah satu
pekerjaan menengah yang menjanjikan (Kompas, 8/2015).
Fenomena ojek tidak hanya terjadi di
kota. Sejak tahun 2000-an, ojek menjadi salah satu pilihan angkatan kerja muda
untuk mendapatkan pekerjaan. Dengan perspektif ekonomi sosial pedesaan, pola
ini tidak jauh berbeda. Ojek menjadi alternatif pekerjaan paling mudah bagi
generasi muda di Indonesia.
Pekerjaan ojek menjadi pilihan karena
modal berupa kendaraan bermotor yang diperlukan adalah sekaligus merupakan aset
yang bisa dinikmati secara pribadi. Dalam banyak kasus, pekerjaan ojek juga
merupakan pekerjaan kedua sejumlah masyarakat.
Fenomena ojek adalah bukti nyata
terpinggirkannya sektor pertanian ketika modernisasi menjadi bagian dan
kebutuhan pokok masyarakat. Meskipun sektor pertanian dianggap masih eksis,
kita dihadapkan pada masalah besar terbatasnya tenaga muda sektor pertanian.
Generasi muda tidak mau terjun di bidang
pertanian dan lebih memilih pekerjaan mengojek yang sesungguhnya kastanya lebih
rendah karena tiadanya added valueyang ditimbulkan. Data demografi
tenaga kerja pertanian juga memberikan gambaran yang memprihatinkan, terutama
dalam hal kesejahteraan.
Meskipun kesempatan kerja sektor
pertanian meningkat 0,51% dalam 1995-2000 misalnya, terdapat kenaikan upah
absolut tetapi kenaikan upah riil berjalan lambat (Rusastra dan Suryadi, 2004).
Sumber pendapatan keluarga petani yang dominan adalah kegiatan berburuh dan non
pertanian yaitu sebesar 68,10%.
Pembahasan atas pertanyaan tersebut
kemudian dilihat dengan pendekatan diskursus globalisasi dalam penyediaan
tenaga kerja pertanian. Perspektif tenaga kerja muda di sektor pertanian dapat
digunakan sebagai lensa untuk melihat masa depan pertanian dan perjuangan
melawan kemiskinan di pedesaan (White, 2010).
Sejumlah 80% keluarga di pedesaan
terlibat dalam kerja pertanian dan kebanyakan mereka adalah golongan termiskin
yang tergantung pada sektor pertanian. Hal ini memberi penjelasan bahwa sektor
pertanian masih menjadi sumber pekerjaan terbesar di dunia.
Meski demikian, selama dua dekade
terakhir angka pengangguran angkatan kerja muda meningkat pesat, mencapai dua
kali lipat dibandingkan pengangguran secara umum. Hampir setengah jumlah total
pengangguran adalah angkatan kerja muda.
Secara umum generasi muda kita hanya
melihat “gambar romantis” Pak tua dengan cangkul bekerja di sawah, sebagai
representasi dunia tenaga kerja pertanian. Berbeda dengan gambaran petani di
AS, misalnya.
Meskipun memiliki problematika sendiri,
dan kesamaan masalah dalam hal tenaga kerja muda, dunia pertanian di AS
digambarkan sebagai sektor high-tech yang relatif dapat
dijadikan sumber penghidupan yang berkelanjutan.
Hal ini menjadi salah satu alasan
mengapa generasi muda lebih tertarik menjadi tukang ojek ketimbang petani.
Karena tukang ojek bekerja dengan (dan memiliki) kendaraan bermotor, sementara
petani bekerja dengan cangkul.
Generasi muda Indonesia tidak pernah
secara konkret disuguhi daya tarik sektor ini sehingga tidak pernah melihat
sisi memikat dari dunia pertanian. Modernisasi telah menyebabkan pertanian
telah kehilangan daya pikatnya.
Hal ini tidak hanya khas terjadi di
Indonesia, tetapi juga pada banyak negara berkembang di Asia dan Afrika. Meski
demikian setiap negara memiliki karakter dan dinamikanya sendiri. Di Thailand
dan Vietnam misalnya, budidaya pertanian masih dapat menjanjikan nilai ekonomi
dan livelihood yang layak. Sementara itu di Indonesia hanya
sedikit sub sektor pertanian dan komoditas tertentu saja yang memiliki janji
ini.
Reforma Agraria dan Kedaulatan Pangan
Reform agraria tak hanya berarti merebut
tanah yang dimiliki negara dan atau membagikan kembali kepada masyarakat.
Indikator reforma agraria juga termasuk dengan bagaimana pengelolaan sumber
daya alam dan seisinya dipastikan dikerjakan oleh dan untuk sebanyak mungkin
orang.
Dengan demikian proses membangun dalam
konteks ini semestiya lebih berpijak ada keadilan termasuk memberikan kehidupan
yang lebih baik berupa kesempatan bagi tenaga kerja muda untuk berproduksi.
Titik terendah ketidakmampuan negara
untuk menyejahterakan masyarakatnya adalah ketika ia tidak mampu memberikan
kesempatan kerja kepada tenaga kerja muda yang ada. Tidak tersedianya tenaga
kerja di sektor pertanian bukanlah semata-mata kesalahan generasi yang terlalu
cepat sehingga tergagap menjadi generasi teknologi tinggi yang tidak siap.
Hal itu adalah kesalahan negara yang
tidak mampu konsisten memperjuangkan hal ini demi kebaikan bersama.
Intervensi pemerintah yang semestinya
merupakan perpanjangan tangan masyarakat dalam mengelola sumber daya yang
dimiliki bersama berubah menjadi perpanjangan tangan milik pemerintah itu
sendiri.
Birokrasi yang berfungsi melayani
termasuk menyediakan lapangan pekerjaan untuk kaum muda justru menjadi kelompok
yang melayani diri sendiri. Civil servants play role as masters instead
of servants.
Pemerintah menjadi musuh bersama ketika
ia sudah terkonfirmasi membuat kebijakan terkait agraria yang abai terhadap
kepentingan bersama sekaligus menjadi perpanjangan tangan kepentingan kelompok
pemilik kapital.
Keberpihakan pada rakyat sungguh sangat
dibutuhkan dalam semangat kedaulatan yang selama ini gencar diteriakkan. Tentu
saja ia memerlukan pemerintah serius dan siap bekerja keras untuk mencapai
kedaulatan tersebut dan bukan sekedar di atas kertas. Bekerja keras yang
dimaksud adalah juga termasuk kesiapannya untul tidak popular.
Mengapa syaratnya demikian berat, karena
keberpihakan rakyat melalui pertanian ini harus melalui ujian yang panjang dan
sulit yaitu tentang bagaimana mengembalikan sektor pertanian menjadi sektor
yang cukup menjanjikan dan layak dipinang oleh pekerja muda sebagai pekerjaan
tetapnya.
Jika tidak, kita akan masuk dalam vicious
circle yang sama: kecilnya insentif pertanian menyebabkan lahan
produktif menciut.
Turunnya lahan produktif tersebut
menyebabkan jumlah lapangan kerja pertanian menjadi terbatas. Akibatnya
generasi muda meninggalkan desa untuk pekerjaan di kota, sementara itu industri
di kota tidak siap dan tak cukup besar menampung tenaga kerja ini.
Pada akhirnya mereka menjadi pihak yang
paling tak diinginkan di perkotaan. Terlanjur mengadu nasib di kota, mereka
bahkan terlalu miskin untuk kembali ke desa.
Dalam skenario kapitalisme hal ini telah
diprediksikan dengan sangat baik sejak 200 tahun yang lalu. Tersingkirnya
tenaga kerja pertanian adalah skenario paling jelas untuk menunjukkan kecilnya
peran masyarakat dalam menguasai faktor produksi termasuk produksi pangan.
Selanjutnya tenaga kerja pertanian yang
terdepak dari desa akan menjadi kelas terbuang di kota dan menciptakan kelas
miskin abru dan menimbulkan social gapyang melebar. Kelas baru ini
kemudian menjelma menjadi transformasi sejumlah besar angkatan tenaga kerja
muda dari pekerja sektor pertanian menjadi tukang ojek.
Jika ketidaksetaraan berupa social
gap tersebut berlangsung terus menerus, akan menjadi sumber
masalah bagi pemerintah itu sendiri. Tingkat sosial yang senjang adalah masalah
utama dikebanyakan perkotaan dan menjadi sumber dari segala jenis kriminalitas.
Kesenjangan sosial, pengangguran,
tiadanya penguatan produksi dan tidak adanya kedaulatan pangan adalah jalinan
mata rantai yang lain. Mereka saling mempengaruhi dan saling menjalin sebab
akibat. Memutus rantainya adalah dengan menyembuhkan salah satu mata rantai
tersebut, memisahkannya untuk kemudian secara terintegrasi kembali
diimplementasikan.
Ringkasnya, untuk membuat generasi muda
kembali pada sektor pertanian maka hal utama yang harus dilakukan adalah
kesadaran pada kedaulatan pangan yang sesungguhnya.
Berapapun biayanya dan sesulit apapun,
jalan ini harus ditempuh. Meskipun dengan bentuk yang paling ekstrim misalnya
pemerintah harus mengakomodir bentuk industri pangan (rakyat) dan korporasi
yang efisien.
Jika tidak, jumlah pengangguran terutama
angkatan muda akan semakin tak terkendali, dan pada akhirnya negara akan
memiliki musuh terselubung. Jika pemerintah sungguh menginginkan kedaulatan
tersebut, tentunya tidak akan keberatan berhenti bermusuhan dengan rakyat.
Foto via penulis
Di postkan delapan bulan yang lalu
Nama : Bella Mega Pahlevi
NIM : 16/394216/PN/14455
NIM : 16/394216/PN/14455
Nama : Leo Davit Andre T.
BalasHapusNIM : 16/398817/PN/14788
Golongan : B5
Kelompok : 6
a. Adakah nilai penyuluhan
Sumber teknologi atau ide : Mengajak generasi muda kembali pada sektor pertanian
Sasaran : Angkatan Kerja muda pengangguran
Manfaat : Memberikan pekerjaan bagi angkatan kerja muda ke sektor pertanian dari pada harus menjadi pengangguran.
Nilai pendidikan : Mengajak angkatan kerja muda menjadi budidaya pertanian yang dapat dijadikan nilai ekonomi dan livelihood yang layak.
Timeline : Artikel ini bersifat tidak baru karena sudah di rilis agustus 2015.
Importance : artikel ini menjelaskan bagaimana keadaan petani di luar negeri yang hidup sejahtera, tidak seperti di indonesia.
Consequence : jika tenaga kerja petani tidak ada yang berminat, maka akan semakin banyak pengangguran baik di desa ataupun di kota.
Policy :artikel ini menjelaskan bahwa pemerintah kurang mendukung sektor pertanian, malah pemerintah hanya mementingkan diri sendiri.
Prominence : Kebanyakan para angkatan kerja muda lebih memilih jadi ojek dari pada jadi petani, di karenakan petani masih di anggap sebelah mata.
Conflict : Pemerintah hanya memikirkan diri sendiri, dan tidak memikirkan petani.
Human Interest : generasi muda kembali pada sektor pertanian maka hal utama yang harus dilakukan adalah kesadaran pada kedaulatan pangan yang sesungguhnya, Jika tidak jumlah pengangguran terutama angkatan muda akan semakin tak terkendali.